Bisnis  

Energy Watch Nilai Skema Power Wheeling Bisa Kecilkan Peran Negara Terhadap Listrik Nasional

Energy Watch Nilai Skema Power Wheeling Bisa Kecilkan Peran Negara Terhadap Listrik Nasional

InfoCakrawala.com – Pengamat Energi dari Energy Watch Indonesia Ferdinand Hutahaean menyebut kebijakan skema power wheeling atau pemanfaatan jaringan listrik bersama mampu mengecilkan peran negara dalam kelola kelistrikan nasional. Maka dari itu, dirinya memohon pemerintah kemudian DPR mampu menghentikan pembahasan power wheeling RUU EBET.

“Rancangan undang-undang energi baru terbarukan atau RUU yang dimaksud memuat power wheeling merupakan upaya untuk menghabisi peran negara juga memelihara kepentingan oligarki,” ujarnya yang dimaksud dikutip, Rabu (22/11/2023).
 
Ferdinand melanjutkan, RUU hal tersebut memberikan akses listrik milik negara sebagai jaringan, transmisi, kemudian distribusi kepada swasta langsung ke pelanggan. Dengan kata lain, bilang dia, swasta bisa jadi berjualan listrik ke pelanggan dengan menggunakan infrastruktur negara.
 
Menurutnya, yang digunakan lebih lanjut parah dalam undang-undang itu juga akan dibentuk badan usaha ketenagalistrikan yang dimaksud akan mengatur pemakaian jaringan oleh swasta tersebut.

“Ini kan parah. Saat ini, kebutuhan energi negara sudah dipenuhi BUMN,” kata dia.
  
Ferdinand menambahkan, negara maju seperti China sekadar masih membangun PLTU lantaran murah. “Kenapa Indonesia sok-sokan menjadi pelopor energi terbarukan yang sama-sama kita ketahui masih mahal sekali investasinya serta masih minim investor,” tutur dia.
 
Bisa Rugikan Masyarakat

Sebelumnya, Kepala Center of Food Energy and Sustainable Development (CFESD) – INDEF, Abra Talattov menilai skema power wheeling (pemanfaatan bersama jaringan listrik) dalam RUU Energi Baru lalu Terbarukan (EBT) sekali tiada mempunyai urgensi. Menurut dia, kebijakan inimerupakan bentuk pemaksaan yang tersebut sangat merugikan rakyat.

“Saya menilai skema power wheeling ini semata-mata sekedar sebagai pemanis atau sweetener dalam menstimulasi penanaman modal pembangkit EBT, padahal kondisinya sangat tak urgen berkaca pada kondisi eksisting sektor ketenagalistrikan saat ini,” ujarnya yang dikutip, Rabu (22/11/2023).

Pemerintah sebenarnya sudah pernah menggelar karpet merah bagi swasta untuk memperluas bauran EBT sebagaimana dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030. Dalam RUPTL disebutkan jika target tambahan pembangkit EBT mencapai 20,9 GW dengan porsi swasta mencapai 56,3 persen atau setara 11,8 GW.

“Artinya, apabila green RUPTL bisa jadi dijalankan secara konsisten belaka maka secara alamiah bauran pembangkit EBT hingga 2030 akan mencapai 51,6 persen,” kata dia.

Abra melanjutkan, ide penerapan skema power wheeling menjadi bukan relevan mengingat saat ini beban negara yang mana semakin berat menahan kompensasi listrik akibat kondisi pasokan berlebih listrik yang tersebut terus melonjak. Kondisi sektor ketenagalistrikan sangat miris lantaran terjadi disparitas yang mana lebar antara pasokan juga permintaan tenaga listrik. Terbukti oversupply listrik terus meningkat tiap tahunnya dimana oversupply pada tahun 2022 sudah pernah menyentuh 7 GW.

Situasi kondisi berlebih listrik yang disebut berpotensi terus membengkak, sebab masih adanya penambahan pembangkit baru hingga 16,3 GW pada 2026 sebagai implikasi dari mega proyek 35 gigawatt (GW).

Beban itu berpotensi menjadi bom waktu bagi PLN dikarenakan akan ada lonjakan kewajiban capacity payment kemudian denda yang digunakan harus dikeluarkan PLN akibat pemasaran listrik pada bawah capacity factor. Konsekuensinya, untuk mengurangi beban operasional PLN tentu akan mengurangi produksi listrik dari pembangkitnya sendiri demi dapat menyerap produksi listrik dari IPP.

(Sumber: Suara.com)