Ahli Ungkap Nyamuk Ber-Wolbachia Terbukti Turunkan Insiden Dengue 77 Persen, Bahaya Nggak Buat Lingkungan?

Ahli Ungkap Nyamuk Ber-Wolbachia Terbukti Turunkan Insiden Dengue 77 Persen, Bahaya Nggak Buat Lingkungan?

Infocakrawala.com – Selain COVID-19, persoalan hukum demam berdarah dengue (DBD) juga meningkat. Direktur Pencegahan dan juga Pengendalian Penyakit Menular Kementrian Bidang Kesehatan RI, dr. Imran Pambudi MPHM, memaparkan bahwa tahun ini, memang benar merupakan siklus 5 tahunan penyakit yang pertama kali ditemukan dalam Indonesia pada 1968 ini.

“Tiap lima tahun ada lonjakan perkara dengue, berkaitan dengan fenomena El Nino. Sejak kita mendapat info dari BMKG mengenai El Nino kita dengan segera melakukan mitigasi untuk pencegahan DBD, lalu hasilnya cukup memuaskan,” tuturnya. 

Hal ini terlihat dari penurunan persoalan hukum dengue dibandingkan tahun lalu. Pada 2022, tercatat ada 143.000 tindakan hukum kemudian 1.236 kematian, sedangkan tahun ini cuma terjadi 85.900 tindakan hukum kemudian 683 kematian.

Secara garis besar, intervensi yang tersebut sanggup dilakukan, untuk menekan dengue semdiri kata beliau ada tiga. Pertama adalah intervensi pada lingkungan, intervensi pada vektor (nyamuk), kemudian intervensi pada manusia.

Intervensi pada lingkungan misalnya dengan pemberantasan sarang nyamuk, serta intervensi pada manusia misalnya dengan vaksinasi serta memakai baju lengan panjang di dalam tempat endemis dengue.

Adapun intervensi pada vektos misalnya menggunakan zat kimia seperti abate untuk larvasida, kemudian fogging atau obat semprot sebagai insektisida.

“Intervensi vektor yang mana ketiga yaitu dengan teknologi nyamuk ber-Wolbachia,” tandas dr. Imran. Ia menjelaskan, sudah pernah terbukti bahwa penyebaran nyamuk A. aegypti ber-Wolbachia memberikan dampak positif bagi penurunan tindakan hukum dengue.

Teknologi Nyamuk Ber-Wolbachia

Pilot project nyamuk ber-Wolbachia dijalankan dalam Yogyakarta. Wolbachia adalah bakteri alami yang biasa hidup pada tubuh serangga. Wolbachia jelas ia tak mengubah karakter nyamuk. Tidak ada perbedaan bermakna antara nyamuk ber-Wolbachia dalam wilayah intervensi dengan nyamuk alami pada wilayah kontrol.

“Sebelum kami melakukan penelitian yang disebutkan di skala besar, kami lakukan dulu pengkajian selama enam bulan yang mana melibatkan 20 orang ahli dari berbagai bidang. Termasuk di tempat antaranya bidang virologi, mikrobiologi, ahli serangga, ahli biodiversitas, dokter anak, psikologi, hingga ilmu sosial,” jelas dr. Riris Andono Ahmad, MD., MPH, Ph.D, Direktur Pusat Kesehatan Tropis Fakultas Kedokteran, Bidang Kesehatan Komunitas & Keperawatan UGM.

Berdasarkan literature review dan juga kajian lain, disimpulkan bahwa kemungkinan risiko yang dimaksud sanggup terjadi adalah yang tersebut paling rendah, yang tersebut biasa kita temukan sehari-hari serta dapat diabaikan. Nyamuk ber-Wolbachia juga bukanlah rekayasa genetika. 

“Untuk menyangkal hal ini, kita mampu merujuk dari berbagai website resmi. Misalnya CDC, mereka secara tegas menyatakan bahwa nyamuk ini bukanlah nyamuk rekayasa genetika. EPA juga menjelaskan dengan tegas bahwa pada nyamuk, ada dua macam teknologi: nyamuk yang mana diinfeksi serta genetic-modified mosquito,” tutur dr. Doni, begitu ia disapa.

Ia melanjutkan, nyamuk ber-Wolbachia juga bukan merusak lingkungan, akibat tidaklah terbukti bahwa pelepasan nyamuk ber-Wolbachia meningkatkan populasi nyamuk cullex.

Sebaliknya, pelepasan nyamuk ber-Wolbachia dalam Yogyakarta terbukti menurunkan insiden dengue 77% dan juga menurunkan kejadian rawat inap di tempat RS hingga 86%. Rerata nagka dengue nasional pun berkurang drastic dibandingkan 30 tahun lalu. 

“Ini belum pernah terjadi sebelumnya. Setelah pelepasan nyamuk ber-Wolbachia, fogging turun hingga 85%. Ini adalah snagat menggemberikan oleh sebab itu anggaran fogging mampu dialokasikan ke pengendalian penyakit lain,” ujar dr. Doni.

Studi di tempat beberapa negara lain juga menemukan bahwa nyamuk ber-Wolbachia efektif menekan bilangan kejadian dengue. Selain itu, nyamuk ber-Wolbachia memberikan proteksi jangka panjang. Disayangkan, masih ada kegelisahan pada sebagian penduduk mengenai nyamuk ber-Wolbachia. 

Terkait hal ini, Prof. Dr. Ede Surya Darmawan, S.K.M., M.D.M, dosen FKM UI lalu Ketua Umum Ikatan Ahli Aspek Kesehatan Warga Indonesia (IAKMI) menegaskan, langkah yang dimaksud diambil oleh pembuat kebijakan haruslah berdasarkan data juga bukti ilmiah, tidak opini. 

Berbagai penelitian yang digunakan membuktikan khasiat dan juga keamanan nyamuk ber-Wolbachia selayaknya dijadikan landasan untuk melanjutkan pilot project ini ke kota-kota berikutnya.

(Sumber: Suara.com)