Multifaktor Penyebab Stunting, Cegah Sedini Mungkin

Multifaktor Penyebab Stunting, Cegah Sedini Mungkin

Infocakrawala.com – JAKARTA – Berdasarkan Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) pada tahun 2022, bilangan stunting mencapai 21,6 persen. Hal ini menunjukkan bahwa satu dari lima anak Indonesia mengalami stunting. Kondisi ini tentu masih terpencil dari target pemerintah yang mana akan menurunkan bilangan bulat stunting menjadi 14 persen pada 2024.

Stunting adalah kondisi yang tersebut ditandai dengan tinggi badan anak yang tak sesuai menurut umurnya. Hal ini menjadi pertanda bahwa anak mengalami gangguan perkembangan yang digunakan diakibatkan kekurangan gizi kronis atau infeksi berulang. Stunting mampu terjadi sejak bayi baru lahir hingga di rentang usia 24 bulan.

Kementerian kebugaran menyebutkan kelompok usia paling tinggi mengalami kenaikan prevalensi stunting adalah sejak bayi usia 6 bulan hingga berusia 23 bulan. “Pada bayi baru lahir prevalensinya 18,5 persen. Sementara pada bayi usia 6-11 bulan prevalensinya 13,7 persen dan juga bayi usia 12-23 bulan mencapai 22,4 persen. Artinya pada kelompok usia 6-11 bulan lalu 12-23 bulan terjadi prevalensi stuntingnya meningkat hingga 1,6 kali,” papar Ketua Tim Kerja Standar Kecukupan Gizi Bapak Mahmud Fauzi, S.K.M., M.Kes.

Fauzi kemudian menyebutkan pemicu stunting sangatlah multifaktor, mulai dari ada tidaknya kesulitan gizi sejak remaja putri, asupan gizi yang tersebut tidak ada optimal pada waktu ibu hamil, pemberian makan pada bayi yang digunakan tidaklah adekuat, ada tidaknya infeksi yang tersebut dialami anak, pola asuh hingga sosial perekonomian keluarga. Namun apabila dilihat dari prevalensi kelompok usia 6-23 bulan, salah satu faktor pemicu segera terjadinya stunting menurut Fauzi adalah pemberian makanan pendamping ASI (MPASI) yang kurang bergizi juga minim protein hewani.

“Hal ini sangat dipengaruhi oleh tingkat pengetahuan dan juga pemahaman ibu akan kemampuan fisik lalu gizi anak, ditambah faktor lingkungan setempat yang dimaksud kurang mendukung,” tegas Fauzi.

Hal senada juga ditegaskan oleh Badan Kependudukan kemudian Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) sebagai Ketua Pelaksana Proyek Percepatan Penurunan Stunting. Sering kali orang menghubungkan stunting dengan kemiskinan, lantaran ini merujuk pada salah satu pemicu terjadinya sanitasi yang mana buruk dan juga air minum tidaklah layak.

“Tapi penelitian menunjukkan, justru yang tersebut paling menentukan adalah bagaimana pola asuh di tempat keluarga, kata Direktur Ketahanan Remaja BKKBN Edi Setiawan. Pola asuh, sambung Edi, akan diaktualisasikan dengan mencukupi keperluan gizi mulai dari ibu mengandung yang digunakan kemudian dioptimalkan dengan pemberian ASI eksklusif dan juga MPASI bergizi, tinggi protein hewani lalu aman. Semuanya balik lagi ke pola asuh, lantaran pola asuh menentukan pola makan,“ imbuh Edi.

Bicara tentang pola makan maka tentu akan berkaitan dengan faktor gizi. Lantas bagaimanakah pengaruh konsumsi gula menjadi penyulut stunting? Terlebih beberapa waktu lalu terdapat persoalan hukum stunting yang dimaksud dicurigai dikarenakan pemberian Susu Kental Manis (SKM) kemudian makanan tinggi gula. Fauzi menegaskan, hal pertama yang tersebut harus dicermati adalah apakah anak sudah ada mengonsumsi aneka ragam makanan bergizi. Pada dasarnya kesulitan under nutrition seperti stunting sangat dipengaruhi akibat kurangnya konsumsi makanan yang bergizi, khususnya protein hewani serta adanya permasalahan infeksi yang tersebut dialami anak.

(Sumber:SindoNews)