Bisnis  

otoritas RI Diminta Konsisten Lawan Diskriminasi Perdagangan Internasional

otoritas RI Diminta Konsisten Lawan Diskriminasi Perdagangan Internasional

Infocakrawala.com – Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE), Mohammad Faisal, menyatakan bahwa perjuangan Indonesia untuk melawan diskriminasi perdagangan internasional sudah ada berada di tempat jalur yang digunakan tepat.

Bahkan, pemerintah diminta untuk terus konsisten di menyuarakan kepentingan Indonesia di area kancah global.

Indonesia saat ini menghadapi diskriminasi perdagangan dari banyak negara terkait kebijakan ekspor minyak kelapa sawit (crude palm oil/CPO) juga nikel. Barang CPO ditolak sebab minyak kelapa sawit dianggap bukan ramah lingkungan. World Trade Organization (WTO) pun menilai lapangan usaha proses pengolahan lebih lanjut nikel Indonesia belum optimal, sehingga belum waktunya untuk melakukan penutupan ekspor barang mentah.

“CPO memang benar tekanannya besar. Kita harus konsisten memperjuangkan CPO, khususnya pada sisi penetrasi ekspor. CPO dianggap sebagai sesuatu yang mana tiada ramah lingkungan. Sebagian bisa saja jadi benar, tapi ada juga motif tersembunyi dari negara yang dimaksud menolak CPO. Begitu pula dengan nikel, yang justru penolakan datang dari negara yang dimaksud bukan mengimpor nikel mentah kita, yaitu Uni Eropa,” kata Faisal pada sebuah diskusi dalam Ibukota Indonesia disitir Hari Sabtu (6/1/2024).

“Saya rasa langkah pemerintah telah bagus. Cuma memang sebenarnya ada yang mana perlu diperkuat, utamanya terkait trade diplomacy, untuk melawan segala tuduhan yang tak benar. Kalau ada tuduhan yang mana benar, ya kita perbaiki. Supaya pada berargumen pada arbitrase kita bisa saja mempertahankan kepentingan kita dari negara yang dimaksud merasa kebijakan Indonesia bertentangan dengan WTO,” tambahnya.

Peraih gelar kejuaraan doktor kegiatan ekonomi dari Universitas Queensland itu meyakini, ada kepentingan memperjuangkan hasil substitusi CPO dari negara-negara yang tersebut menentang kebijakan ekspor Indonesia.

“Motif tersembunyi dari argumen sawit yang mana tiada ramah lingkungan misalnya menjaga item substitusi, seperti Eropa dia punya minyak bunga matahari, minyak kacang kedelai,” ungkap Faisal.

Lebih dari itu, ada juga upaya negara-negara progresif untuk menghindari Indonesia naik kelas, dengan menolak kebijakan ekspor manufaktur yang mana bisa jadi memberikan nilai tambah lebih tinggi jika dibandingkan dengan sekadar ekspor komoditas.

Faisal kemudian memperlihatkan persaingan dagang antara Amerika Serikat dengan China beberapa tahun lalu. China mulai dilihat sebagai ancaman lantaran penetrasi sektor teknologinya semakin masif. Amerika Serikat pun membebankan pajak untuk barang-barang China yang dianggap bisa jadi mengganggu pasarnya.

“China ingin naik kelas dengan bukan lagi ekspor barang bernilai tambah rendah. Tapi, pada komoditas teknologi 5G, Amerika mencoba untuk menjaga dominasinya dengan menerapkan tarif. Jadi itu hal yang umum terjadi, ketika negara memanfaatkan platform digital internasional untuk mengurangi negara lain naik kelas. Dan ironinya, itu justru dicontohkan oleh negara yang menyuarakan perdagangan bebas,” beber dia.

Spesifik untuk larangan ekspor bijih nikel, Faisal mengamati Indonesia sedikit mengalami kerugian ketika hendak memulai kebijakan hilirisasi. Namun, sekarang ini pengembangan lebih lanjut telah lama menjadi salah satu faktor penting yang tersebut menciptakan neraca perdagangan Indonesia terus surplus.

“Memang pada awal 2020 ekspor sempat turun oleh sebab itu larangan ekspor bijih nikel. Tidak lama, logam dasar kita naik. Artinya, kerugiannya cuma jangka pendek, dikarenakan hasil dari pengembangan lebih lanjut telah mulai terasa tanpa menanti beberapa tahun lagi,” ungkap alumni Institut Teknologi Bandung (ITB) itu.

Ungkapan Faisal senada dengan pernyataan Menteri Investasi/Kepala Badan Sinkronisasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia, yang menyoroti mengenai kebijakan pemerintah dagang negara-negara forward di area balik gugatan hasil Indonesia pada WTO.

“Tentang WTO, diskriminasi, juga deforestasi, ini kebijakan pemerintah dagang. Tidak ada negara dalam dunia ini yang mana ingin lapaknya diambil negara lain. Ujung-ujungnya kita lihat ini main narasi saja, tapi substansi sama. Kenapa dibawa ke WTO, akibat bidang merek yang dimaksud sudah ada dibangun bukan dapat lagi suplai komponen baku. Andaikan dia dapat suplai, sudah ada dengan nilai tukar mahal,” ungkap Bahlil pada September 2023.

“Ketika produksi, jadi akan kalah kompetitif nilai tukar dengan produksi yang dimaksud kita bangun di tempat Indonesia. Kemudian ia pakai lembaga dunia yang digunakan mengkaji kembali terhadap izin larangan ekspor komoditas ini. Menurut saya nggak dapat kita tolerir,” tambah dia.

(Sumber: Suara.com)