Prinsip Praduga Tak Bersalah Dalam Perampasan Aset Korupsi

Prinsip Praduga Tak Bersalah Dalam Perampasan Aset Korupsi

Infocakrawala.com – Romli Atmasasmita

SALAH satu tujuan dari Konvensi PBB Antikorupsi Tahun 2003 adalah Assets Recovery atau Pemulihan Aset Korupsi, istilah banyak ditafsirkan keliru dengan pengembalian aset korupsi atau returning of asset of corruption.

Pemulihan aset adalah proses mendirikan aset hasil korupsi menjadi aset negara seutuhnya, sedangkan pengembalian aset adalah proses penempatan aset korupsi menjadi bagian dari harta kekayaan negara. Dalam konteks aset tindakan pidana seperti korupsi, narkotika, dan juga kejahatan transnasional lainnya, permasalahan aset aksi pidana merupakan hambatan internasional dan juga juga permasalahan nasional tiap negara khususnya negara peratifikasi UNCAC 2003 yang mana salah satu tujuannya adalah asset-recovery.

Namun demikian, di tempat sisi lain dari penegakan hukum pidana , terdapat asas praduga tak bersalah dikenal presumption of innocence; the fundamental criminal law principle that a person may not be convicted of a crime unless the government proves guilt beyond a reasonable doubt, withour any burden placed on the accused to prove innocence (Black’s Law Dictionary, 2001, 549).

Asas praduga tak bersalah di hampir semua sistem hukum kecuali sistem hukum di tempat negara-negara yang mana menganut sistem hukum sosialis, dipandang merupakan hambatan mendasar pada proses asset recovery melalui tuntutan pidana sehingga praktik hukum di area negara-negara maju seperti AS, Italia, lalu Irlandia, dimungkinkan perampasan aset melalui gugatan keperdataan atau disebut preventive confiscation of assets dari manusia terperiksa yang digunakan diduga berasal dari kejahatan.

Pembuktian yang dimaksud diadakan pada perampasan yang dimaksud tidak ada menggunakan pembuktian dengan syarat usul perolehan asset yang digunakan diduga berasal dari tindakan pidana melainkan digunakan pembuktian yang mana disebut, balanced probability atau tuntutan perdata kemungkinan terbesar dari aset berasal dari tindakan pidana digabungkan dengan ketidakmampuan pemiliknya membuktikan sebaliknya (Oliver Stolpe, tidaklah dipublikasi). Pola perampasan aset korupsi serta juga kejahatan serius lainnya, dapat diadakan melalui penuntutan pidana (criminal conviction) juga penuntutan perdata (civil litigation).

Perbedaan mendasar dari kedua pendekatan yang disebutkan adalah bahwa pendekatan pertama baik pemilik aset korupsi maupun harta kekayaan yang mana berasal dari korupsi dapat dirampas untuk negara apabila terdakwa telah dilakukan dinyatakan terbukti lalu bersalah melakukan korupsi. Pendekatan kedua, ditujukan terhadap perampasan asset korupsi tanpa pemilik aset yang dimaksud diduga berasal dari korupsi dituntut pidana kemudian terdakwa berkewajiban membuktikan bahwa aset yang dimaksud dimilikinya dianggap berasal dari korupsi kecuali terdakwa pemilik aset dapat membuktikan sebaliknya.

Proses pembuktian menghadapi keabsahan kepemilikan aset pada terdakwa dikenal sebagai presumption of guilt dengan menggunakan metoda pembuktian terbalik atau beban pembuktian berada pada terdakwa pemilik asset yang tersebut dalam duga berasal dari korupsi. UU Nomor 31 Tahun 1999 yang digunakan diubah UU Nomor 20 Tahun 2001 (UU Tipikor) tidak ada menganut metode pembuktian terbalik atau reversal of burden of proof, melainkan metode proof beyond a reasonable doubt yakni prinsip praduga tak bersalah lebih banyak diutamakan.

Sedangkan metode pembuktikan terbalik di perampasan aset melalui tuntutan keperdataan menggunakan metode pembuktian yang mana disebut Balanced Probability Principle atau pembuktian keseimbangan yang tersebut tujuan utamanya adalah mengatasi aset korupsi dengan cara terdakwa pemilik aset wajib membuktikan keabsahan kepemilikan asetnya, dilandaskan pada prinsip presumption of guilt atau praduga bersalah terhadap setiap sen asset yang pada duga berasal dari korupsi.