Ria Ricis Ceraikan Teuku Ryan Karena ‘Tak Dibelai’ 18 Bulan? Hal ini Hukumnya pada Islam

Ria Ricis Ceraikan Teuku Ryan Karena ‘Tak Dibelai’ 18 Bulan? Hal ini Hukumnya pada Islam

Infocakrawala.com – Penyebab keretakan rumah tangga antara Ria Ricis dengan Teuku Ryan perlahan mulai terungkap. Meskipun Ria Ricis belum menjelaskan secara gamblang mengapa ia menggungat cerai, namun muncul dugaan sebab Ryan tidak ada memberi nafkah batin untuk Ricis selama sekitar 18 bulan. Lantas bagaimana hukum suami tidak ada memberi nafkah batin untuk istri? 

Munculnya dugaan Ryan tak memberi nafkah batin untuk Ricis ini terungkap dari pernyataan kakak ipar Ria Ricis, Ori Vitrio Abdullah alias Rio. Dalam pengakuannya, Rio menyebutkan jikalau kesalahan Ryan yanh cukup fatal. Pria dengan syarat Aceh yang dimaksud disebut tiada menyentuh Ria Ricis pasca melahirkan. Hal yang dimaksud identik sendiri juga sempat disinggung oleh Ria Ricis dengan segera melalui dalam sosial beberapa waktu lalu. 

“Memang telah fatal sih kesalahannya. Oki juga ya gimana ya emang udah fatal sih. Kan udah padat di tempat sosmednya dia, dari lahiran sampai sekarang nggak disentuh ya gimana kalau nikah? Kan Ricis telah kasih kode itu,” kata suami Oki Setiana Dewi pada salah satu acara di tempat ANTV, pada Kamis (1/2/2024) lalu. 

Tudingan yang dimaksud dengan segera dibantah oleh Teuku Ryan sendiri. Bahkn ia memohon suami Oki Setiana Dewi itu tak seharusnya menebarkan fitnah. Terlebih lagi, Rio dikenal sebagai sosok yang tersebut sangat paham dengn ilmu agama. 

“Dari lahiran tak disentuh? Jangan memfitnah baiknya. Allah Maha Tahu, mas Rio juga paham agama. Mohon support sekadar yang baik,” tulis Teuku Ryan disalah satu komentar unggahan video menggunakan akun TikToknya. 

Hukum Suami Tidak Memberi Nafkah Batin untuk Istri 

Seorang perempuan yang dimaksud sudah ada menikah berhak mendapatkan nafkah dari suaminya. Tak belaka nafkah merupakan materi, namun nafkah batin yang juga harus terpenuhi. Sebab, apabila bukan seimbang maka akan menyebabkan beberapa hambatan di tempat antara rumah tangga keduanya. 

Melansir dari NU Online, nafkah batin merupakan kewajiban yang mana harus diberikan oleh suami terhadap istrinya selain nafkah pada bentuk lahir. Hal ini sesuai yang dimaksud  dijelaskan di Al-Qura’n: 

 لِيُنفِقْ ذُو سَعَةٍ مِّن سَعَتِهِۦ ۖ وَمَن قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُۥ فَلْيُنفِقْ مِمَّآ ءَاتَىٰهُ ٱللَّهُ ۚ لَا يُكَلِّفُ ٱللَّهُ نَفْسًا إِلَّا مَآ ءَاتَىٰهَا ۚ سَيَجْعَلُ ٱللَّهُ بَعْدَ عُسْرٍ يُسْرًا  

Artinya: “Hendaklah orang yang digunakan mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang tersebut disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tiada memikulkan beban untuk seseorang melainkan sekedar apa yang dimaksud Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.” (QS At-Thalaq: 7).   

Melalui potongan ayat pada atas, maka dapat kita pahami bahwa dari sisi istri pemenuhan nafkah lahir lalu juga batin adalah hak istri yang tersebut bila tidak ada terpenuhi maka ia diperkenankan untuk berani menuntut hak tersebut. Syekh Wahbah pada kitab Al-Fiqhul Islami mengungkapkan bahwa: 

للزوجة حقوق مالية وهي المهر والنفقة، وحقوق غير مالية: وهي إحسان العشرة والمعاملة الطيبة، والعدل    

Artinya: “Bagi istri terdapat beberapa hak yang mana bersifat materi sebagai mahar dan juga nafkah dan juga hak-hak yang dimaksud bersifat non materi seperti memperbagus pada menggauli lalu hubungan yang digunakan baik juga berlaku adil.” (Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu, juz IX, halaman 6832). 

Atas adanya pertimbangan tersbeut, maka apabila ada suami tiada mempunyai kemampuan untuk memberikan nafkah lahir atau batin, maka akan dapat memunculkan konsekuensi. Adapun yang mana dimaksud yaitu istri boleh menggugat cerai suami apabila memang sebenarnya ia bukan bersabar akan hal-hal tersebut. Hal ini sebagaimana telah dilakukan dijelaskan oleh Imam As-Syafi’i:  

  قَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى : لَمَّا دَلَّ الْكِتَابُ وَالسُّنَّةُ عَلَى أَنَّ حَقَّ الْمَرْأَةِ عَلَى الزَّوْجِ أَنْ يَعُولَهَا احْتَمَلَ أَنْ لَا يَكُونَ لَهُ أَنْ يَسْتَمْتِعَ بِهَا وَيَمْنَعَهَا حَقَّهَا وَلَا يُخَلِّيَهَا تَتَزَوَّجُ مَنْ يُغْنِيهَا وَأَنْ تُخَيَّرَ بَيْنَ مُقَامِهَا مَعَهُ وَفِرَاقِهِ  

Artinya: “Imam As-Syafi’i berkata: “Baik Al-Qur’an maupun As-Sunah sudah menjelaskan bahwa kewajiban suami terhadap istri adalah mencukupi kebutuhannya. Konsekuensinya adalah suami tidaklah boleh belaka sekadar berhubungan badan dengan istri tetapi menolak memberikan haknya, kemudian bukan meninggalkannya agar bisa jadi diambil oleh orang yang digunakan mampu memenuhi kebutuhannya. Jika demikian (tidak memenuhi hak istri), maka isteri boleh memilih antara masih sama-sama atau pisah dengannya.” (As-Syafi’i, Al-Umm, juz VII, halaman 121).   

Lamanya Masa Suami Tidak Memberi Nafkah Batin terhadap Istri 

Selanjutnya, berapa masa terlama suami boleh bukan memberikan nafkah batin untuk istrinya? Untuk mengetahui hal ini, Imam Ibnu Hazm berpendapat jikalau orang suami wajib hukumnya memberikan nafkah batin untuk sang istri sekurang-kurangnya swlama satu kali satu bulan. Pendapat yang disebutkan berdasarkan pada ayat yang dimaksud berbunyi: 

  فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ ٱللَّهُ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلتَّوَّٰبِينَ وَيُحِبُّ ٱلْمُتَطَهِّرِينَ     

Artinya: “Apabila mereka telah dilakukan suci, maka campurilah mereka itu itu dalam tempat yang tersebut diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang tersebut bertaubat kemudian menyukai orang-orang yang digunakan mensucikan diri.” (QS Al-Baqarah: 222). 

Melalui ayat pada atas, maka dapat kita memahami bahwa biasanya siklus haid seseorang perempuan yaitu selama sebulan sekali, juga perintah untuk menggauli istri pada ayat yang dimaksud dipahami oleh Ibnu Hazm sebagai perintah yang tersebut menunjukkan kewajiban. 

Namun berbeda halnya dengan ulama lain yang berpendapat jikalau perintah dalam berhadapan dengan menunjukkan hukum mubah mengingat kaidah yang dimaksud artinya: “Perintah sesudah larangan menunjukkan hukum mubah”. 

Meski demikian, Imam As-Syafi’i sendiri tampaknya lebih tinggi setuju dengan pendapat yang dimaksud mengungkapkan jikalau batas waktunya yakni selama 4 bulan. Pendapat itu berdasarkan ketetapan yang dimaksud telah terjadi dibuat oleh Amirul Mukminin Umar bin Khattab. Di masa tersebut, berbagai sekali lelaki yang digunakan pergi berperang kemudian meninggalkan istri mereka. Hingga tak sedikit istri yang merasa kesepian kemudian sedih akan hal ini. 

Selesai berundinh dengan Hafshah, Umar kemudian memutuskan apabila pasukan yang mana sudah ada bertugas selama 4 bulan pada medan konflik pulang untuk segera memberikan nafkah untuk istrinya, atau jikalau bukan mampu boleh menceraikannya: 

كَتَبَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ إِلَى أُمَرَاءِ الْأَجْنَادِ فِي رِجَالٍ غَابُوا عَنْ نِسَائِهِمْ يَأْمُرُهُمْ أَنْ يَأْخُذُوهُمْ بِأَنْ يُنْفِقُوا أَوْ يُطَلِّقُوا ، فَإِنْ طَلَّقُوا بَعَثُوا بِنَفَقَةِ مَا حَبَسُوا. وَهَذَا يُشْبِهُ مَا وَصَفْتُ  

Artinya: “Umar bin Khaththab ra pernah menulis surat untuk para panglima konflik mengenai para suami yang mana sangat istrinya. Dalam surat yang disebutkan beliau menginstruksikan untuk merekan agar mengultimatum para suami dengan dua opsi; antara memberikan nafkah terhadap para istri atau menceraikannya. Kemudian apabila para suami itu memilih menceraikan para istri, mereka itu harus mengirimkan nafkah yang tersebut belum mereka berikan selama meninggalkannya. Hal ini mirip dengan apa yang mana telah terjadi saya (Imam As-Syafi’i) kemukakan”. (As-Syafi’i, Al-Umm, juz VII, halaman 121). 

Kesimpulannya yaitu, apabila mengamati pada pendapat para ulama, maka batas maksimal suami yang dimaksud diperbolehkan untuk tidak ada memberikan nafkah batin ialah selama 1 bulan bila mengacu pada pendapat Imam Ibnu Hazm, kemudian 4 bulan apabila mengacu tindakan  Amirul Mukminin Umar bin Khatab. 

Demikianlah penjelasan tentang hukum suami tidak ada memberi nafkah batin untuk istri. Semoga bermanfaat! 

Kontributor : Putri Ayu Nanda Sari