Siapa Pendiri Pesantren Al Falah Ploso? Lokasinya Tuai Sorotan Usai Jadi Tempat Nikah Mewah Ning Chasna juga Gus Sunny

Infocakrawala.com – Pernikahan antara Ning Chasna dan juga Gus Sunny yang digunakan diselenggarakan dengan mewah pada Rabu (17/1/2024) pada Pondok Pesantren Al Falah, Ploso, Kediri, Jawa Timur, masih menjadi sorotan utama di tempat masyarakat. Pernikahan ini memunculkan beragam pendapat dalam kalangan publik, teristimewa terkait dengan usia Ning Chasna Nayluver yang ketika ini masih berusia 18 tahun.

Tidak sedikit juga yang digunakan kemudian mencari tahu tentang Pesantren Al Falah Ploso itu, termasuk juga siapa pendirinya. Untuk mencari tahu lebih tinggi di tentang Pesantren Al Falah Ploso dan juga siapa pendirinya, berikut ini rangkuman suara.com dikutipkan dari situs resmi pesantren tersebut. 

Pendiri lalu pengasuh pertama Pondok Pesantren Al-Falah, Ploso, Kediri adalah KH. Achmad Djazuli Utsman, yang digunakan awalnya dikenal dengan julukan Blawong dari KH. Zainuddin.

Ia lahir pada 16 Mei 1900 M, dengan nama Mas’ud. Meskipun lahir pada keluarga bangsawan sebagai anak Raden Mas M. Utsman, Mas’ud mempunyai tekad kuat untuk menuntut ilmu.

KH. Achmad Djazuli Utsman. (Dok. Pesantren Al Falah Ploso)
KH. Achmad Djazuli Utsman. (Dok. Pesantren Al Falah Ploso)

Pada awalnya, Mas’ud mendapatkan sekolah formal, termasuk di tempat STOVIA (Fakultas Bidang kedokteran UI sekarang) di tempat Batavia. Namun, panggilan untuk menuntut ilmu agama membawanya ke pesantren.

Dengan dorongan dari KH. Ma’ruf (Kedunglo), individu murid Kyai Kholil, Mas’ud akhirnya meninggalkan lembaga pendidikan formal juga memilih mengabdikan diri pada pesantren.

Mas’ud mulai merintis perjalanan ilmu agamanya di area berbagai pesantren, seperti Gondanglegi Nganjuk, Pondok Sono Sidoarjo, juga Pondok Mojosari Nganjuk yang mana diasuh oleh KH. Zainuddin. Di Mojosari, Mas’ud hidup simpel dengan bekal lima rupiah sebulan, tetapi semangatnya untuk menuntut ilmu tak padam.

Setelah beberapa perjalanan ilmiah, termasuk mondok di tempat Mekkah, Mas’ud kembali ke Ploso, Kediri, serta mendirikan Pondok Pesantren Al-Falah pada tahun 1925. Dalam perjalanannya, Mas’ud menghadapi berbagai tantangan, termasuk kesulitan sektor ekonomi serta masa penjajahan Jepang. Meskipun diangkat sebagai Sancok (Camat) oleh Jepang, Mas’ud tetap saja menyampaikan dakwah Islam untuk masyarakat.

Pondok Pesantren Al-Falah terus berkembang, dibuktikan dengan perkembangan berbagai fasilitas, termasuk asrama-asrama seperti Pondok D, C, juga komplek A (Andayani). Pada tahun 1941, pondok mengalami pindah kenaiban ke Mojo, meninggalkan kekayaan berbentuk masjid, pendopo, lalu tanah yang tersebut luas.

Selama Agresi Militer Belanda, santri Pondok Pesantren Al-Falah turut berjuang mempertahankan agama lalu negara. Pada tahun 1957, untuk mengatasi permasalahan kepadatan, dibangun dua asrama lagi, yaitu Komplek G (Al Ghozali) kemudian Komplek H (Hasanuddin). Pada tahun 1962, dibangun Komplek AA (Al Asyhar).

Di masa tuanya, Kyai Djazuli masih istiqomah di mengajar, bahkan mengajar kitab Al-Hikam secara periodik setiap di malam hari Jum’at. Pada akhir hayatnya, beliau masih mendampingi santri-santri yang belajar kepadanya. Pondok Pesantren Al-Falah menjadi pusat institusi belajar Islam yang dimaksud kuat pengaruhnya di dalam masyarakat.

Kyai Djazuli meninggalkan jejak monumental pada perjalanan Pondok Pesantren Al-Falah, mengajarkan tidaklah hanya saja ilmu agama tetapi juga semangat juang, kesederhanaan, juga keteguhan pada menghadapi berbagai cobaan. Pondok Pesantren Al-Falah terus bertambah lalu mengalami perkembangan sebagai warisan besar dari dedikasi serta perjuangan Kyai Djazuli. 
 
 

(Sumber: Suara.com)