Bisnis  

Skema power wheeling berpotensi gerus perdagangan listrik PLN

Skema power wheeling berpotensi gerus perdagangan listrik PLN

InfoCakrawala.com – Jakarta – Skema power wheeling (pemanfaatan bersama jaringan listrik) dinilai berpotensi menggerus pelanggan listrik (demand organic) PLN lebih lanjut lanjut banyak lagi hingga 10-30 persen.

Dengan demikian, menurut Kepala Center of Food Energy and Sustainable Development (CFESD) – INDEF, Abra Talattov skema power wheeling juga pasti akan menambah risiko melonjaknya over supply listrik sehingga calon berdampak terhadap kesehatan keuangan negara.

"Di tengah kondisi oversupply listrik sebesar 1 GW saja, biaya yang mana digunakan harus dikeluarkan rakyat (tax payer) melalui kompensasi kepada PLN atas konsekuensi skema take or pay mencapai Rp3 triliun per GW," ujarnya melalui keterangan tertoreh pada Jakarta, Rabu.

Menurut dia gagasan penerapan skema power wheeling menjadi tak relevan mengingat saat ini beban negara yang digunakan digunakan semakin berat menahan kompensasi listrik akibat kondisi pasokan berlebih listrik yang tersebut terus melonjak.

Kondisi sektor ketenagalistrikan sangat miris sebab terjadi disparitas yang digunakan lebar antara pasokan juga permintaan tenaga listrik. Terbukti oversupply listrik terus meningkat tiap tahunnya dimana oversupply pada tahun 2022 sudah pernah menyentuh 7 GW.

Situasi kondisi berlebih listrik itu berpotensi terus membengkak, dikarenakan masih adanya penambahan pembangkit baru hingga 16,3 GW pada 2026 sebagai implikasi dari mega proyek 35 gigawatt (GW).

Beban hal itu berpotensi menjadi bom waktu bagi PLN dikarenakan akan ada lonjakan kewajiban capacity payment juga denda yang digunakan digunakan harus dikeluarkan PLN akibat pelanggan listrik dalam tempat bawah capacity factor.

Konsekuensinya, untuk mengurangi beban operasional PLN tentu akan mengurangi produksi listrik dari pembangkitnya sendiri demi dapat menyerap produksi listrik dari IPP.

Buktinya, produksi listrik dari pembangkit milik PLN pada 2022 semata-mata belaka tumbuh 1,13 persen, sedangkan pertumbuhan pembelian listrik dari IPP mencapai 16,6 persen.

Di sisi lain, Abrav mengingatkan bahwa kondisi besarnya pasokan berlebih hal itu juga tidaklah lepas dari melesetnya asumsi pertumbuhan permintaan listrik, di dalam area mana pada RUPTL 2019-2028 ditargetkan pertumbuhan permintaan rata-rata 6,4 persen per tahun, namun realisasinya selama 2015-2021 rata-rata cuma 3,5 persen per tahun.

Di tengah meningkatnya beban oversupply listrik tersebut, tambahnya, tentu implikasinya adalah beban terhadap APBN baik dalam bentuk subsidi maupun kompensasi listrik.

Anggaran subsidi juga kompensasi listrik terus meningkat tiap tahunnya. Realisasi subsidi juga juga kompensasi listrik pada tahun 2021 mencapai Rp81,2 triliun, kemudian pada 2022 diproyeksikan mencapai Rp80,96 triliun yang yang disebut terdiri dari subsidi listrik Rp21,4 triliun juga kompensasi Rp59,56 triliun.

Selain itu, risiko tambahan beban APBN juga dapat muncul oleh sebab itu adanya kemungkinan tambahan biaya pokok penyediaan (BPP) listrik sebagai konsekuensi masuknya pembangkit listrik dari skema power wheeling yang dimaksud digunakan bersumber dari energi terbarukan yang dimaksud bersifat intermiten.

Dampaknya, menurut dia dia, akan timbul tambahan cadangan putar untuk menjaga keandalan lalu stabilitas sistem. Sehingga setiap masuknya 1 GW pembangkit power wheeling akan mengakibatkan tambahan beban biaya hingga sekitar Rp 3,44 triliun yang mana dimaksud tentu akan membebani keuangan negara.

Artinya jika diasumsikan rata-rata oversupply listrik sebesar 6-7 GW per tahun, maka kemungkinan oversupply selama 2022-2030 mencapai 48 GW – 56 GW atau setara dengan tambahan biaya Rp165-192 triliun.

Ketika beban fiskal sudah semakin berat untuk menanggung subsidi kemudian kompensasi listrik tersebut, maka risiko berikutnya adalah menaikkan tarif listrik yang mana pastinya akan menambah beban rakyat dalam tengah tekanan inflasi yang digunakan mana terus meningkat.

Oleh oleh sebab itu itu ia memohonkan DPR sebagai ujung tombak RUU hal itu dapat mengkaji ulang risiko kebijakan skema power wheeling.

 

(Sumber: AntaraNews)