Tambang Korporatisme Negara

Tambang Korporatisme Negara

Infocakrawala.com – Ilham B Saenong
Manajer Pengembangunan Inisiatif pada Yayasan Humanis lalu Inovasi Sosial

“HAMPIR semua orang akan kuat menghadapi penderitaan, namun karakter seseorang belaka mampu diuji dengan memberinya kekuasaan.” Ungkapan populer Presiden Amerika Serikat Abraham Lincoln dua abad lalu yang dimaksud pada masa kini tambahan mampu diapresiasi di konteks konsesi pengelolaan tambang.

Pemberian izin pengelolaan tambang untuk ormas keagamaan telah dilakukan menimbukan polemik berkepanjangan. Terjalin saling serang antarpihak yang tersebut pro serta kontra terhadap kebijakan yang disebutkan berdasarkan perspektif, pertimbangan, kemudian kepentingan masing-masing.

Namun demikian, harus disadari bahwa polemik yang digunakan timbul bukanlah semata-mata efek dari kebijakan dimaksud. Kebijakan itu sendiri mengandung detonator untuk memecah integrasi juga integritas kelompok-kelompok kritis di area luar negara dan juga usaha (critical non-state not for profit actors). Pemecah-belahan kekuatan sipil ini bemuara pada arus konsolidasi kebijakan pemerintah di bentuk korporatisme negara yang digunakan jadi penanda mutakhir dari era yang tersebut telah lama melupakan amanat Reformasi.

Proyek Korporatis
Pemberian izin pengelolaan tambang terhadap ormas keagamaan akan melanjutkan sisa proyek-proyek pertambangan sebagaimana sudah berbagai dianalisis para pengamat. Saat ormas kegamaan yang tersebut baru belajar menambang ini harus mencuci pengelolaan tambang energi kotor kemudian kehancuran yang ditimbulkannya, proyek baru yang mana sebenarnya adalah negara sedang berupaya menggiring aktor-aktor kunci dalam luar negara ke di kontrolnya.

Korporatisme negara terhadap kekuatan-kekuatan kemasyarakatan bukanlah hal baru. Strategi yang disebutkan dijalankan penguasa secara efektif serta masif hingga tumbangnya Presiden Soeharto.

Pada masa Orde Baru, korporatisme negara berbentuk upaya penjinakan aktor kritis atau yang digunakan dianggap berpotensi untuk menggugat prioritas serta kebijakan pemerintah. Cara lain dengan melakukan akomodasi terhadap kekuatan penduduk yang tersebut menguntungkan rezim yang dimaksud berkuasa.

Negara pada waktu itu melakukan perpanjangan tangan ke pada berbagai wadah kemasyarakatan yang telah dilakukan dikotak-kotakkan di fungsi-fungsi seperti PWI untuk urusan jurnalistik, SPSI untuk urusan perburuhan, MUI untuk urusan keagamaan Islam, atau ICMI untuk urusan kesarjanaan. Bahkan kekuatan peserta didik coba diredam pula dengan menerapkan kebijakan NKK/BKK serta memaksakan Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi (SMPT) untuk menggantikan Dewan Mahasiswa yang mana dikenal anti-Orde Baru.

Dalam era pasca-Reformasi, pemerintahan Jokowi sudah melakukan berbagai cara untuk memverifikasi berjalannya perkembangan perekonomian yang digunakan diwarisi dari masterplan perkembangan era SBY kemudian menjaga arus penanaman modal dengan beragam regulasi juga kebijakan pendukung. UU Ciptakerja lalu UU Minerba menguatkan kendali pemerintahan pusat (resentralisasi) terhadap sektor-sektor strategis perkembangan yang mana bertentangan dengan otonomi area juga pelayanan masyarakat yang mana mendekat untuk warga.

Yang lebih besar disayangkan, Jokowi dalam akhir pemerintahannya, tiada merasa cukup dengan mengatur isi sektor-sektor strategis, tapi juga menegaskan aktor-aktor pengontrol kemudian penyeimbang berada di area bawah naungannya. Revisi UU KPK yang mana telah kita rasakan akibatnya, begitu pula beberapa orang revisi UU di Prolegnas di dalam DPR, telah lama lalu potensial menjadi kompetisi perpanjangan tangan pemerintah ke pada lembaga quasi-negara.

Pemberian izin pengelolaan pertambangan untuk ormas keagamaan menjadi skenario berikutnya dari upaya kontrol negara melawan agenda-agenda kebijakan pemerintah yang mana non-demokratis, eksklusif, kemudian bukan sadar lingkungan. Inilah proyek percobaan (pilot project) yang mana diterapkan berdasarkan pragmatisme pasca-Pilpres-Pileg lalu kalkulasi elektoral pra-Pilkada Serentak.