Yurisdiksi ICC terhadap Pelanggaran HAM

Yurisdiksi ICC terhadap Pelanggaran HAM

Infocakrawala.com – Romli Atmasamita
Guru Besar Hukum (Em) Pidana Internasional Unpad

MENANGGAPItulisan Syarifudin ( Sindonews.com ,3 Mei 2024) tentang Yurisdiksi ICC (Mahkamah Pidana Internasional) perlu diklarifikasi sebab tidak ada seluruhnya mengandung kebenaran secara materiil. Statuta ICC disetujui Sidang Majelis Umum PBB pada 17 Juli 1998 dalam Roma, juga sampai sekarang keanggotan Statuta ICC hanya sekali 120 negara tanpa satu pun dari negara anggota ASEAN, termasuk Indonesia yang digunakan meratifikasi Statuta ICC tersebut.

Pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pernah ada niat pemerintah untuk meratifikasi Statuta ICC akan tetapi tidak ada dilaksanakan dengan pertimbangan, pertama, yurisdiksi ICC sangat luas bukan dibatasi oleh wilayah negara kemudian berlaku terhadap siapa pun, pelakunya terlepas dari kewarganegaraannya, sehingga yurisdiksi ICC bersifat (universal jurisdiction) dengan dua pendekatan yaitu opting-in approach (consent yurisdiction), juga opting-out approach (inhaerent yurisdiction).

Statuta ICC miliki ketentuan yang bersifat represif kemudian tidaklah mengakui masa daluwarsa penuntutan (Pasal 29), sehingga setiap ketika kemudian kapan pun ICC dapat memeriksa serta mengadili tindakan hukum pelanggaran oleh warga negara terlepas dari jika kewarganegaraanya. Selain hal tersebut, bagi yurisdiksi ICC tiada berlaku ketentuan mengenai daluwarsa penuntutan (non-apllication of satute of limitation) – Pasal 29; sehingga dapat diperdebatkan apakah ketentuan universal mengenai prinsip Non-retroactivity (Pasal 24) masih dapat berlaku efekftif pada praktik ICC.

Pertimbangan kedua, Statuta ICC secara khusus ditujukan terhadap orang Komandan Militer atau individu Atasan/Pejabat Negara yang digunakan diduga telah lama melakukan pelanggaran HAM pada negara mana pun, kemudian inisiatif penuntutan berasal tidak hanya dari negara korban (State’s victim), akan tetapi juga dapat berasal dari inistiatif Jaksa ICC seperti contoh persoalan hukum Presiden Afrika Selatan atau Rusia.

Pertimbangan ketiga, memahami kekuatan hukum ICC pada di forum internasional sejalan dengan perkembangan pelindungan HAM sejak tahun 1966 lalu Indonesia telah dilakukan meratifikasi dengan UU Nomor 12 Tahun 2005, maka tak mudah bagi Indonesia untuk segera serta tidaklah berhati-hati meratifikasi Statuta ICC dengan memperhatikan sikap negara-negara pemegang Hak Veto dalam PBB seperti AS, China, kemudian Rusia tidak ada (akan) pernah meratifikasinya sampai ketika ini. Ratifikasi Statuta ICC oleh Indonesia sangat rentan, jikalau terdapat dugaan pelanggaran HAM (genosida, kejahatan kemanusiaan, kejahatan pertempuran serta agresi), maka Indonesia memiliki kedudukan sangat lemah, baik secara hukum maupun secara politis.

Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka pemerintah telah terjadi memberlakukan UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM serta UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Ketika pemerintahan Orde Reformasi, BJ Habibie, Komisi HAM PBB pernah akan melakukan klarifikasi kemudian verifikasi informasi telah lama terjadi pelanggaran HAM dalam Timor Timur ketika Indonesia menguasai wilayah tersebut. Akan tetapi dengan adanya kesungguhan juga niat baik pemerintah Indonesia memeriksa lalu mengadili pelaku-pelakunya dengan memberlakukan kedua UU tersebut, maka rencana Mary Robinsin, Ketua Komisi HAM PBB untuk tujuan yang dimaksud tidaklah dilanjutkan.

Pertimbangan keempat, sekali pun pemerintah Indonesia berniat meratifikasi Statuta Roma, menjadi pertanyaan penting kemudian strategis, seberapa jauhkah kekuatan diplomasi Indonesia di area forum PBB untuk mengurangi atau mengatasi pemeriksaan oleh ICC terhadap beberapa pelaku pelanggaran pada TimTim, dan juga seberapa mampukah Indonesia melakukan lobi-lobi diplomatik untuk pemegang Hak Veto?

Pertanyaan mendasar yang dimaksud perlu dijawab dari niatan pemerintah yang disebutkan apakah tidaklah perlu dipertimbangkan secara serius, bahwa dengan ratifikasi Statuta ICC kelak, jikalau pemerintahan serta DPR mengakui keberadaan Mahkamah ICC, apakah tidaklah bertentangan dengan UUD 45 yang digunakan hanya sekali mengakui Mahkamah Agung (MA) lalu Mahkamah Konstitusi (MK) yang tersebut telah terjadi ditetapkan di UUD45.

Pertimbangan kelima, adalah jikalau pun ratifikasi diilakukan pemerintah Indonesia dan juga Mahkamah ICC pada Den Haag berhasil memeriksa kemudian mengadili pelaku pelanggaran HAM beberapa orang warga negara Indonesia, maka dapat dipastikan akan menjadi catatan kelam sejarah pelanggaran HAM bagi NKRI.

Pertimbangan lain yang tidaklah kalah penting adalah dengan terbentuknya Pengadilan HAM pada Indonesia menunjukkan untuk dunia bahwa Indonesia serius lalu sungguh-sungguh melaksanakan ketentuan internasional tentang Pelindungan HAM di area negeri sendiri oleh majelis hakim bangsa Indonesia. Kini sudah saatnya bagi pemerintah Indonesia untuk mulai melanjutkan penyelidikan melawan berbagai persoalan hukum dugaan pelanggaran HAM sejak masa pemerintahan Sukarno, Suharto sampai pemerintahan Joko Widodo, sehingga bangsa ini terbebas dari prasangka buruk, baik dalam pada maupun dalam luar negeri, khususnya di area forum PBB terhadap kesungguhan kemudian komitmen NKRI untuk secara optimal bukanlah hanya menegakkan Keadilan Retributif akan tetapi juga Keadilan Restoratif, khususnya pelaksanaan ketentuan mengenai reparation of victims, termasuk pemberian kompensasi kemudian rehabilitasi untuk korban atau keluarganya, khususnya di perkembangan tragedi Trisakti, Semanggi pada 1998.

Upaya yang mana serupa telah dilakukan mulai dilaksanakan oleh pemerintahan Joko Widodo, akan tetapi tidak ada terdengar lagi kelanjutannya. Undang-undang sebagai hasil hukum sekaligus produk-produk hukum merupakan dikatakan baik lalu bermanfaat juga berkeadilan Jika memenuhi aspirasi kemudian kesadaran hukum publik luas.